Sabtu, 23 November 2013

Cinta Dalam Sastra Bugis


Ekspresi tentang cinta merupakan lahan yang sangat berharga bagi para sastrawan untuk membingkainya dengan kreativitas bahasa yang indah. Cinta telah menjadi salah satu inspirasi terbesar dalam sejarah kesustraan umat manusia, dan kurang afdal rasanya jika sebuah cerita tak dibumbui dengan kisah cinta yang romantis. Sebutlah misalnya, Romeo dan Juliet di Barat, Layla dan Majnun di Arab, atau Habibi dan Ainun di Indonesia.
Adapun dalam kesustraan Bugis-Makassar, ekspresi tentang cinta berbeda dengan paradigma sastra yang selama ini dikenal. Ungkapan cinta dalam kesustraan Lontar diungkapkan dengan permainan simbol yang cukup kompleks.
Salah satunya pantun Bugis berikut ini:
“Gellang ri watang majjekko
Anrena Menre’e
Bali ulu bale”.
Artinya:
Besi gelang yang dibengkokkan
Makanan orang Menre
Kebalikan dari kepala Ikan
Awalnya, ketika pantun ini diajarkan saat saya masih belajar di Mts Tsanawiyah Mangkoso, oleh Drs. Salman, pengajar Bahasa Daerah (saat itu masih bernama Muatan Lokal), kami tidak percaya bahwa pantun itu berbicara tentang cinta. Namun itu hilang ketika tafsir pantun itu dijelaskan.
Pertama kali yang dituntut untuk memahami pantun ini adalah mengekstraksi tiap cariknya dengan padanan makna atau kata yang lebih sederhana. Sehingga baris pertama akan menghasilkan kata kail, sebab besi gelang yang dipatahkan dan dibengkokkan akan membentuk seperti kail atau mata pancing. Makanan khas orang Menre padanannya Pisang Raja. Sedangkan kebalikan kepala ikan sama dengan ekor ikan.
Setelah menemukan padanannya, kata itu lalu ditransliterasikan dalam bahasa Bugis. Kail dalam bahasa Bugis berarti meng”, sedangkan pisang raja adalah “loka” dan ekor ikan, “ikko”. Jika ketiga simbol di atas digabungkan, akan menghasilkan rangkaian ‘’meng loka ikko’’. Tentu rangkaian ini masih agak ganjal untuk menjadi kalimat yang bermakna. Tetapi hal tersebut akan jelas, jika kita mengetahui aturan fonem dalam pembacaan tulisan Lontar. Dalam Lontar Bugis-Makassar tidak mengenal adanya huruf ‘mati’. Maka tak salah jika sering terdengar, bahwa huruf Lontar merupakan cerminan dari filosofi masyarakat Bugis-Makassar. Seperti huruf Lontar, orang Bugis-Makassar akan terus hidup di manapun mereka berada.
Dengan menerapkan aturan fonem Lontar tadi, maka meng dapat dibaca me, sedangkan loka dapat berubah lo’ka, dan ikko dapat dibaca iko.  Hasilnya adalah kalimat me lo’ka iko yang berarti:   Aku menginginkanmu.
Proses interpretasi atau penafsiran teks yang berputar-putar seperti ini, agak serupa dengan metode depth-hermeneutic yang dikembangkan Habermas dalam Knowledge and Human Interest-nya. Sebuah metode interpretasi teks yang diadopsi dari metode tafsir mimpi Freud, yang berfungsi untuk  mengurai struktur ego dan dimensi alam bawah sadar individu yang tersembunyi dibalik lapisan simbol yang mampu menipu secara fisik.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pantun di atas merupakan gambaran karakter dan alam bawah sadar masyarakat Bugis-Makassar yang tidak mengumbar perasaan luhur atau bahkan mengubahnya menjadi sebuah ekspresi bahasa yang dangkal dan banal. Tetapi cinta dibungkus dengan kompleksitas simbol yang menghormati harga diri, siri dan pacce kedua pasang kekasih. Pantun itu mengajarkan kehati-hatian dalam mengungkapkan ekspresi perasaan yang berharga. Perasaan cinta tak perlu diobral dengan terburu-buru yang akhirnya ditunggangi oleh syahwat seksual yang menghinakan. Tetapi ungkapan cinta yang tulus dibungkus dengan tutur kata yang santun, tegas, namun penuh dengan kesungguhan .
Pantun di atas sebenarnya lebih pantas menjadi etika tutur daripada ekspresi nafsu birahi terhadap lawan jenis. Memang, setiap pria akan tertarik dengan wanitanya, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi tak membuat kediriannya tergadai dalam buaian emosi yang mematikan. Tidak seperti lirik lagu mellow dengan konsep cinta yang loyo. Ungkapan cinta pun dibuatnya tak mampu mewakili kedirian kita yang begitu berharga. Cinta tak lebih sekadar komoditi murahan yang laris-manis diperdagangkan dalam dunia kapitalis. Padahal cinta yang berharga, sebagaimana yang tersirat dalam pantun di atas, layaknya mutiara yang terkubur di samudera jiwa yang terdalam. Ia tidak hadir dalam kedangkalan pesona, tetapi tersembunyi di balik hijab dunia kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar