Ekspresi
tentang cinta merupakan lahan yang sangat berharga bagi para sastrawan untuk
membingkainya dengan kreativitas bahasa yang indah. Cinta telah menjadi salah
satu inspirasi terbesar dalam sejarah kesustraan umat manusia, dan kurang afdal
rasanya jika sebuah cerita tak dibumbui dengan kisah cinta yang romantis.
Sebutlah misalnya, Romeo dan Juliet di Barat, Layla dan Majnun di Arab, atau
Habibi dan Ainun di Indonesia.
Adapun dalam kesustraan Bugis-Makassar,
ekspresi tentang cinta berbeda dengan paradigma sastra
yang selama ini dikenal. Ungkapan cinta dalam kesustraan Lontar diungkapkan
dengan permainan simbol yang cukup kompleks.
Salah
satunya pantun Bugis berikut ini:
“Gellang ri watang majjekko
Anrena Menre’e
Bali ulu bale”.
Artinya:
Besi gelang yang dibengkokkan
Makanan orang Menre
Kebalikan dari kepala Ikan
Awalnya,
ketika pantun ini diajarkan saat saya masih belajar di Mts Tsanawiyah Mangkoso,
oleh Drs. Salman, pengajar Bahasa Daerah (saat itu masih bernama Muatan Lokal),
kami tidak percaya bahwa pantun itu berbicara tentang cinta. Namun itu hilang
ketika tafsir pantun itu dijelaskan.
Pertama
kali yang dituntut untuk memahami pantun ini adalah mengekstraksi tiap cariknya
dengan padanan makna atau kata yang lebih sederhana. Sehingga baris pertama
akan menghasilkan kata kail, sebab besi gelang yang dipatahkan dan dibengkokkan
akan membentuk
seperti kail atau mata pancing. Makanan khas orang Menre
padanannya Pisang Raja. Sedangkan
kebalikan kepala ikan sama dengan ekor
ikan.
Setelah
menemukan padanannya, kata itu lalu ditransliterasikan dalam bahasa Bugis. Kail
dalam bahasa Bugis berarti “meng”, sedangkan pisang raja adalah
“loka”
dan ekor ikan, “ikko”. Jika ketiga
simbol di atas digabungkan, akan menghasilkan rangkaian ‘’meng
loka ikko’’. Tentu rangkaian ini masih agak ganjal untuk
menjadi kalimat yang bermakna. Tetapi hal tersebut akan jelas, jika kita
mengetahui aturan fonem dalam pembacaan tulisan Lontar. Dalam Lontar Bugis-Makassar
tidak mengenal adanya huruf ‘mati’. Maka tak salah jika sering terdengar, bahwa
huruf Lontar merupakan cerminan dari filosofi masyarakat Bugis-Makassar.
Seperti huruf Lontar, orang Bugis-Makassar akan terus hidup di manapun mereka
berada.
Dengan
menerapkan aturan fonem Lontar tadi, maka “meng” dapat dibaca “me”,
sedangkan “loka” dapat berubah “lo’ka”, dan “ikko” dapat dibaca “iko”.
Hasilnya adalah kalimat “me
lo’ka iko” yang berarti: Aku
menginginkanmu.
Proses
interpretasi atau penafsiran teks yang berputar-putar seperti ini, agak serupa
dengan metode depth-hermeneutic yang dikembangkan Habermas dalam Knowledge
and Human Interest-nya. Sebuah metode interpretasi teks yang
diadopsi dari metode tafsir mimpi Freud, yang berfungsi untuk mengurai struktur ego dan dimensi alam bawah
sadar individu yang tersembunyi dibalik lapisan simbol yang mampu menipu secara
fisik.
Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa pantun di atas merupakan gambaran karakter dan
alam bawah sadar masyarakat Bugis-Makassar yang tidak mengumbar perasaan luhur atau
bahkan mengubahnya menjadi sebuah ekspresi bahasa yang dangkal dan banal.
Tetapi cinta dibungkus dengan kompleksitas simbol yang menghormati harga diri, siri dan pacce kedua pasang kekasih. Pantun itu mengajarkan kehati-hatian
dalam mengungkapkan ekspresi perasaan yang berharga. Perasaan cinta tak perlu diobral
dengan terburu-buru yang akhirnya ditunggangi oleh syahwat seksual yang
menghinakan. Tetapi ungkapan cinta yang tulus dibungkus dengan tutur kata yang
santun, tegas, namun penuh dengan kesungguhan .
Pantun
di atas sebenarnya lebih pantas menjadi etika tutur daripada ekspresi nafsu
birahi terhadap lawan jenis. Memang, setiap pria akan tertarik dengan
wanitanya, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi tak membuat kediriannya
tergadai dalam buaian emosi yang mematikan. Tidak seperti lirik lagu mellow dengan konsep cinta yang loyo. Ungkapan cinta pun dibuatnya tak
mampu mewakili kedirian kita yang begitu berharga. Cinta tak lebih sekadar
komoditi murahan yang laris-manis diperdagangkan dalam dunia kapitalis. Padahal
cinta yang berharga, sebagaimana yang tersirat dalam pantun di atas, layaknya mutiara
yang terkubur di samudera jiwa yang terdalam. Ia tidak hadir dalam kedangkalan
pesona, tetapi tersembunyi di balik hijab dunia kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar