Tatkala sang Surya terbit dengan sinarnya yang merekah disambut kicauan
burung yang bernyanyi menyambutnya, secara perlahan menebarkan kehidupan dan
nafas baru bagi penduduk bumi. Lalu sedikit demi sedikit beranjak menepi
diselimuti malam di ufuk barat. Ketika malam datang, secara pelan-pelan
bintang-gemintang muncul perlahan diiringi desis binatang malam yang bersua
meriuhkan hening malam, menyambut cahaya rembulan yang begitu anggun. Peristiwa-peristiwa
tersebut merupakan pemandangan senandung simfoni kosmos yang begitu indah. Begitu
banyak keindahan yang tersebar disekitar kita, yang hadir demi mengasah rasa
estetika kita agar dapat mencerna proses harmonis nan ajaib dari alam ini.
Tetapi,
keindahan dan gerak harmoni yang ada dalam alam ini, tak kalah indah dengan
realitas kebahasaan manusia. Setidaknya hal itulah yang diakui oleh George
Sarton dalam bukunya, The History of Science. Memang, alam ini
menawarkan pemandangan yang sangat artistik, ia mampu membius perhatian kita.
Tetapi, tanpa meremehkan Kreativitas Tuhan, bahasa manusia yang diujarkan dalam
realitas keseharian mereka memiliki nilai seni yang tersendiri. Jika ditelisik
secara mendalam, ternyata bahasa mampu menarik ketakjuban kita. Hati seolah
tersiram embun pagi yang segar ketika mendengar wejangan yang halus dari
seorang pendidik yang bijak. Jiwa akan tentram ketika berbicara dengan teman
yang santun. Pintu batin akan terbuka untuk mendengar secara seksama tutur kata
yang sopan. Begitu pun sebaliknya, hati akan miris jika mendengar kata serapah
yang kotor. Jiwa akan gusar dan geram ketika berdebat dengan orang yang kasar
tutur katanya.
Bahasa
merupakan medium untuk mengekspresikan kedalaman ide, rasa dan karsa. Bahasa
adalah medium untuk mengajak para pendengar (audiens) kita untuk dapat
memahami apa yang kita rasa dan untuk menyelami apa yang kita pikirkan. Fungsi
ini disebut oleh Jurgen Habermas sebagai fungsi komunikatif (communicative
function) bahasa. Menariknya, inilah keajaiban yang terbesar dari bahasa;
yaitu ketika bahasa mampu menjadi medium untuk mengungkapkan pengalaman ide,
rasa dan karsa dari sang pembicara kepada audiensnya. Bahasa seolah mampu
menjembatani dua dunia yang berbeda dan menyatukannya dalam kesepahaman (mutual
understanding) pada proses komunikasi.
Fungsi bahasa
yang ajaib ini mampu dimaksimalkan ketika proses komunikasi itu terjadi dalam
proses dialog. Dialog adalah proses komunikasi yang interaktif, melibatkan
beberapa subjek pembicara yang berbeda-beda, dimana kesepahaman menjadi tujuan
utama mereka. Dalam peristiwa dialog, egoisme ditekan sedimikian rupa,
kesombongan intelektual dihilangkan dan pemusatan perhatian yang rendah hati
akan berusaha diperlihatkan demi mencerna apa yang disampaikan dari para
partisipan. Sehingga dialog bukanlah ajang mempertontonkan kesombongan diri,
tetapi dialog adalah ajang untuk memperlihatkan kebesaran hati dalam menyimak
argumen dan pembicaraan parner dialog.
Dalam proses
dialog, kita tak perlu memaksa para peserta dialog untuk sependapat atau
sekeyakinan dengan pandangan kita. Para partisan dialog secara santun
memperkenalkan ide, gagasan ataupun pandangan baru yang berbeda dari keyakinan
para peserta lainnya. Kita cukup mengajak mereka untuk membuka diri dengan
pengalaman intelektual (intellectual experience) dan cakrawala
pengetahuan (horizon of knowledge) baru yang kita rasakan agar dapat
menjadi pertimbangan reflektif kepada mereka. Proses dialog menginginkan agar
pengalaman dunia yang dimiliki oleh partisan dapat dirasakan dan dicerna oleh
seluruh peserta dialog. Hasilnya, dialog akan melahirkan pengalaman ilmiah,
cakrawala pengetahuan, dan bahkan argumen dan pendapat baru bagi para partisan
dialog. Dengan demikian, proses dialog akan sangat jauh dari kata-kata kasar,
kalimat serapah, ataupun gunjingan yang tidak etis.
Namun
nampaknya, spirit dialogis saat ini mulai menjauh dalam proses komunikasi kita,
khususnya pada komunikasi publik. Saya yakin kita semua sadar bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam proses komunikasi publik kita. Mulai dari
demonstrasi yang anarkis sampai kepada sikap Pemerintah yang setengah hati
mendengar aspirasi rakyatnya. Padahal negara kita didasari oleh semangat
permusyawaratan yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Dalam arti, proses
komunikasi publik bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi spirit dialogis
dalam mendengarkan aspirasi rakyat yang mengalir kepada penguasa. Semangat
inilah yang dituangkan dalam Pancasila sebagai falsafah negara kita. Dengan
demikian, proses komunikasi yang dibangun dalam membentuk negara ini adalah
semangat dialogis yang tercurah dalam permusyawaratan arif dan bijaksana.
Sehingga penguasa dituntut untuk membuka diri untuk dapat tanggap menangkap
aspirasi rakyatnya, dan demikian pula sebaliknya, rakyat diminta dapat menaruh
kepercayaan kepada pemerintah agar secara perlahan mampu berbesar hati
mendengarkan arahan atau kebijakan pemerintah. Jika hal ini mampu terwujud,
maka setidaknya segala bentuk ekses negatif dari komunikasi mampu teratasi,
khususnya proses demonstrasi anarkis yang selama ini cukup meresahkan warga
Makassar.
Jika kedua
belah pihak tersebut mampu secara arif berdialog secara sehat, maka akan
terjadi sebuah percepatan intelektual, baik dari rakyat ataupun dari
pemerintah. Sebab, kedua belah pihak akan berusaha memaparkan argumen yang
mampu diterima oleh pihak lain. Dialog akan mendorong lahirnya Ruang Publik
sebagai arena dialog, bertukar pikiran dan berdiskusi dalam rangka
menyelesaikan problematika sosial yang terjadi, sehingga hal ini akan mampu
mengurangi aksi demonstrasi yang menghambat aktivitas masyarakat umum. Di pihak
pemerintah, akan terbangun semangat panoptisme, kredibilitas, dan terpenting
kepekaan dalam menangkap aspirasi rakyat, bahkan dialog mampu menjadi sebuah
medium kampanye yang lebih efektif dan murah ketimbang baliho ataupun reklame.
Sebab kesan yang ditimbulkan dalam dialog lebih mendalam dari pada medium
kampanye virtual lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar