Sabtu, 23 November 2013

Dialog Santun Kunci Demokrasi Sehat


Tatkala sang Surya terbit dengan sinarnya yang merekah disambut kicauan burung yang bernyanyi menyambutnya, secara perlahan menebarkan kehidupan dan nafas baru bagi penduduk bumi. Lalu sedikit demi sedikit beranjak menepi diselimuti malam di ufuk barat. Ketika malam datang, secara pelan-pelan bintang-gemintang muncul perlahan diiringi desis binatang malam yang bersua meriuhkan hening malam, menyambut cahaya rembulan yang begitu anggun. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan pemandangan senandung simfoni kosmos yang begitu indah. Begitu banyak keindahan yang tersebar disekitar kita, yang hadir demi mengasah rasa estetika kita agar dapat mencerna proses harmonis nan ajaib dari alam ini.

Tetapi, keindahan dan gerak harmoni yang ada dalam alam ini, tak kalah indah dengan realitas kebahasaan manusia. Setidaknya hal itulah yang diakui oleh George Sarton dalam bukunya, The History of Science. Memang, alam ini menawarkan pemandangan yang sangat artistik, ia mampu membius perhatian kita. Tetapi, tanpa meremehkan Kreativitas Tuhan, bahasa manusia yang diujarkan dalam realitas keseharian mereka memiliki nilai seni yang tersendiri. Jika ditelisik secara mendalam, ternyata bahasa mampu menarik ketakjuban kita. Hati seolah tersiram embun pagi yang segar ketika mendengar wejangan yang halus dari seorang pendidik yang bijak. Jiwa akan tentram ketika berbicara dengan teman yang santun. Pintu batin akan terbuka untuk mendengar secara seksama tutur kata yang sopan. Begitu pun sebaliknya, hati akan miris jika mendengar kata serapah yang kotor. Jiwa akan gusar dan geram ketika berdebat dengan orang yang kasar tutur katanya.
Bahasa merupakan medium untuk mengekspresikan kedalaman ide, rasa dan karsa. Bahasa adalah medium untuk mengajak para pendengar (audiens) kita untuk dapat memahami apa yang kita rasa dan untuk menyelami apa yang kita pikirkan. Fungsi ini disebut oleh Jurgen Habermas sebagai fungsi komunikatif (communicative function) bahasa. Menariknya, inilah keajaiban yang terbesar dari bahasa; yaitu ketika bahasa mampu menjadi medium untuk mengungkapkan pengalaman ide, rasa dan karsa dari sang pembicara kepada audiensnya. Bahasa seolah mampu menjembatani dua dunia yang berbeda dan menyatukannya dalam kesepahaman (mutual understanding) pada proses komunikasi.
Fungsi bahasa yang ajaib ini mampu dimaksimalkan ketika proses komunikasi itu terjadi dalam proses dialog. Dialog adalah proses komunikasi yang interaktif, melibatkan beberapa subjek pembicara yang berbeda-beda, dimana kesepahaman menjadi tujuan utama mereka. Dalam peristiwa dialog, egoisme ditekan sedimikian rupa, kesombongan intelektual dihilangkan dan pemusatan perhatian yang rendah hati akan berusaha diperlihatkan demi mencerna apa yang disampaikan dari para partisipan. Sehingga dialog bukanlah ajang mempertontonkan kesombongan diri, tetapi dialog adalah ajang untuk memperlihatkan kebesaran hati dalam menyimak argumen dan pembicaraan parner dialog.
Dalam proses dialog, kita tak perlu memaksa para peserta dialog untuk sependapat atau sekeyakinan dengan pandangan kita. Para partisan dialog secara santun memperkenalkan ide, gagasan ataupun pandangan baru yang berbeda dari keyakinan para peserta lainnya. Kita cukup mengajak mereka untuk membuka diri dengan pengalaman intelektual (intellectual experience) dan cakrawala pengetahuan (horizon of knowledge) baru yang kita rasakan agar dapat menjadi pertimbangan reflektif kepada mereka. Proses dialog menginginkan agar pengalaman dunia yang dimiliki oleh partisan dapat dirasakan dan dicerna oleh seluruh peserta dialog. Hasilnya, dialog akan melahirkan pengalaman ilmiah, cakrawala pengetahuan, dan bahkan argumen dan pendapat baru bagi para partisan dialog. Dengan demikian, proses dialog akan sangat jauh dari kata-kata kasar, kalimat serapah, ataupun gunjingan yang tidak etis.
Namun nampaknya, spirit dialogis saat ini mulai menjauh dalam proses komunikasi kita, khususnya pada komunikasi publik. Saya yakin kita semua sadar bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam proses komunikasi publik kita. Mulai dari demonstrasi yang anarkis sampai kepada sikap Pemerintah yang setengah hati mendengar aspirasi rakyatnya. Padahal negara kita didasari oleh semangat permusyawaratan yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Dalam arti, proses komunikasi publik bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi spirit dialogis dalam mendengarkan aspirasi rakyat yang mengalir kepada penguasa. Semangat inilah yang dituangkan dalam Pancasila sebagai falsafah negara kita. Dengan demikian, proses komunikasi yang dibangun dalam membentuk negara ini adalah semangat dialogis yang tercurah dalam permusyawaratan arif dan bijaksana. Sehingga penguasa dituntut untuk membuka diri untuk dapat tanggap menangkap aspirasi rakyatnya, dan demikian pula sebaliknya, rakyat diminta dapat menaruh kepercayaan kepada pemerintah agar secara perlahan mampu berbesar hati mendengarkan arahan atau kebijakan pemerintah. Jika hal ini mampu terwujud, maka setidaknya segala bentuk ekses negatif dari komunikasi mampu teratasi, khususnya proses demonstrasi anarkis yang selama ini cukup meresahkan warga Makassar.
Jika kedua belah pihak tersebut mampu secara arif berdialog secara sehat, maka akan terjadi sebuah percepatan intelektual, baik dari rakyat ataupun dari pemerintah. Sebab, kedua belah pihak akan berusaha memaparkan argumen yang mampu diterima oleh pihak lain. Dialog akan mendorong lahirnya Ruang Publik sebagai arena dialog, bertukar pikiran dan berdiskusi dalam rangka menyelesaikan problematika sosial yang terjadi, sehingga hal ini akan mampu mengurangi aksi demonstrasi yang menghambat aktivitas masyarakat umum. Di pihak pemerintah, akan terbangun semangat panoptisme, kredibilitas, dan terpenting kepekaan dalam menangkap aspirasi rakyat, bahkan dialog mampu menjadi sebuah medium kampanye yang lebih efektif dan murah ketimbang baliho ataupun reklame. Sebab kesan yang ditimbulkan dalam dialog lebih mendalam dari pada medium kampanye virtual lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar