Seorang yang pernah merasakan empuknya
kursi kepemimpinan, belum dianggap penguasa jika tak menginginkan kursi itu
sekali lagi. Demikian celetuk Dan Brown dalam novelnya, Deception Point. Kekuasaan itu menggiurkan. Sejarah telah membuktikan,
dalam evolusi peradaban umat manusia selalu ditengarai dengan perebutan
kekuasaan. Intrik politik, konspirasi dan bahkan sampai perang saudara
merupakan bumbu yang selalu menyertai pengukuhan kuasa. Semuanya seolah
menyiratkan bahwa kekuasaan itu sangat mahal harganya.
Mendapatkan kuasa dan jabatan memang
memerlukan pengorbanan yang besar, baik material ataupun non material, demi
meraup kepercayaan dari rakyat. Sebab dalam sistem demokrasi, khususnya di
Indonesia, suara rakyat adalah suara kekuasaan. Sehingga restu rakyat merupakan
syarat mutlak kursi jabatan, dan tidak bisa tidak, para balon penguasa harus
memiliki ikatan emosional dan loyalitas dari rakyatnya, demi meraih suara
mereka di pemilu nanti.
Dengan demikian, para balon penguasa dituntut
untuk meluangkan waktu untuk berkenalan lebih dekat dengan rakyat. Sebab dari
perkenalan akan melahirkan keakraban. Keakraban akan menggiring kepada
kekariban dan kekariban merupakan pintu masuk
bagi kepercayaan atau loyalitas. Sehingga usaha untuk mendapatkan
kepercayaan dari rakyat atau kampanye adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan
keseriusan yang ulet. Dan memang kampanye merupakan sebuah ritual yang sakral
ketika menjelang pemilu.
Tetapi sayangnya, kampanye dalam arti
terdalamnya, dianggap remeh dan sepele oleh sebagian balon penguasa. Lalu
kampanye saat ini direduksi sedimikian rupa menjadi kontes pencitraan. Rakyat
cukup disuguhkan dengan image dan gambar-gambar yang terpampang di atas
reklame, spanduk, baliho dan sejenisnya, dan itu dianggap sudah mewakili proses
perkenalan dan tegur sapa. Sehingga warga yang ingin tahu siapa pemimpin mereka
kedepannya, cukup diigempur dengan senyum yang indah yang terpampang di baliho
itu. Terlepas apakah senyum yang ada di baliho itu, kontras dengan media
penyampaiannya, atau tidak, yang terpenting bagaimana menyesakkan para pemilih
dengan senyum ala baliho. Sehingga baliho pun menjadi media yang laris manis
dalam pesta demokrasi. Sekurang-kurangnya tiap ruas jalan protokol,
persimpangan jalan, pintu masuk pasar dan pagar masjid atau tempat ibadah
lainnya, adalah medan yang paling empuk untuk menebar senyum ala baliho dari
para balon penguasa. Tak peduli, apakah itu merusak pemandangan, apatah lagi
merusak ekosistem daerah setempat, yang terpenting alah bawah sadar para
pemilih dapat dikuasai dan digiring untuk memilih balon penguasa itu.
Paradigma baliho inilah yang cukup
disayangkan. Sebab, ini akan menggiring masyarakat secara tidak sadar untuk
puas dengan simulakrum. Sebuah istilah teknis dari wacana post-modernisme, yang
digunakan sejak Plato untuk menjelaskan sesuatu yang palsu dari sesuatu yang
asli. Dalam arti, para masyarakat disepelekan oleh para balon penguasa, dan
mereka cukup disuguhkan dengan senyum ala baliho. Lebih menyedihkan lagi, jika
di sebuah kampung atau gang, poster besar sang balon begitu ramah, namun tak
pernah beramah-tamah dengan warga setempat. Baliho cukup ditempelkan di
sana-sini untuk menggantikan kehadiran para balon penguasa. Foto yang dipilih pun
yang paling gagah, ramah dan menarik. Itu dirasa cukup untuk meraup simpati rakyat. Namun ironisnya, ketika
senyum ramah itu harus menggangu keindahan tata kota, menghambat aktivitas
warga, atau bahkan mengusik ketenangan di rumah ibadah. Inilah yang disebut
sebagai simulasi dalam wacana filsafat Jean Baudrillard, ketika representasi
sudah tidak sesuai lagi dengan realitas. Semboyannya, cerdas, ramah, baik dan
prosa yang familiar lainnya, namun sangat beda dengan realitasnya. Dalam
istilah lokal kita tidak taro ada na taro gau.
Kita tidak menginginkan para balon
penguasa yang hanya ma’taro ada namun tidak ma’taro gau. Hanya
menebar semboyan iklan namun tidak pernah merealisasikannya. Jika memang
seorang balon pemimpin mengklaim dirinya sebagai balon yang ramah, cerdas dan
atribut lainnya, setidaknya harus memulai untuk memikirkan sebuah kampanya yang
benar-benar ramah. Entah kepada lingkungan ataupun kepada warganya. Kita akan
sangat mengapresiasi jika ada seorang balon yang mau berinovasi untuk
berkampanye dengan bersih-bersih kota Makassar. Bayangkan saja, jika simpatisan
satu balon memiliki massa pendukung sekitar seribu orang dan membersihkan
sampah di anjungan Losari, atau di jalan-jalan protokol Makassar, tentu akan
membius simpati warga. Atau setidaknya, senyum yang ramah di baliho tidak
terlihat sangar ketika menembus pepohonan yang ada di taman-taman kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar