Sabtu, 23 November 2013

Kampanye Ramah Lingkungan


Seorang yang pernah merasakan empuknya kursi kepemimpinan, belum dianggap penguasa jika tak menginginkan kursi itu sekali lagi. Demikian celetuk Dan Brown dalam novelnya, Deception Point. Kekuasaan itu menggiurkan. Sejarah telah membuktikan, dalam evolusi peradaban umat manusia selalu ditengarai dengan perebutan kekuasaan. Intrik politik, konspirasi dan bahkan sampai perang saudara merupakan bumbu yang selalu menyertai pengukuhan kuasa. Semuanya seolah menyiratkan bahwa kekuasaan itu sangat mahal harganya.

Mendapatkan kuasa dan jabatan memang memerlukan pengorbanan yang besar, baik material ataupun non material, demi meraup kepercayaan dari rakyat. Sebab dalam sistem demokrasi, khususnya di Indonesia, suara rakyat adalah suara kekuasaan. Sehingga restu rakyat merupakan syarat mutlak kursi jabatan, dan tidak bisa tidak, para balon penguasa harus memiliki ikatan emosional dan loyalitas dari rakyatnya, demi meraih suara mereka di pemilu nanti.
Dengan demikian, para balon penguasa dituntut untuk meluangkan waktu untuk berkenalan lebih dekat dengan rakyat. Sebab dari perkenalan akan melahirkan keakraban. Keakraban akan menggiring kepada kekariban dan kekariban merupakan pintu masuk  bagi kepercayaan atau loyalitas. Sehingga usaha untuk mendapatkan kepercayaan dari rakyat atau kampanye adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan keseriusan yang ulet. Dan memang kampanye merupakan sebuah ritual yang sakral ketika menjelang pemilu.
Tetapi sayangnya, kampanye dalam arti terdalamnya, dianggap remeh dan sepele oleh sebagian balon penguasa. Lalu kampanye saat ini direduksi sedimikian rupa menjadi kontes pencitraan. Rakyat cukup disuguhkan dengan image dan gambar-gambar yang terpampang di atas reklame, spanduk, baliho dan sejenisnya, dan itu dianggap sudah mewakili proses perkenalan dan tegur sapa. Sehingga warga yang ingin tahu siapa pemimpin mereka kedepannya, cukup diigempur dengan senyum yang indah yang terpampang di baliho itu. Terlepas apakah senyum yang ada di baliho itu, kontras dengan media penyampaiannya, atau tidak, yang terpenting bagaimana menyesakkan para pemilih dengan senyum ala baliho. Sehingga baliho pun menjadi media yang laris manis dalam pesta demokrasi. Sekurang-kurangnya tiap ruas jalan protokol, persimpangan jalan, pintu masuk pasar dan pagar masjid atau tempat ibadah lainnya, adalah medan yang paling empuk untuk menebar senyum ala baliho dari para balon penguasa. Tak peduli, apakah itu merusak pemandangan, apatah lagi merusak ekosistem daerah setempat, yang terpenting alah bawah sadar para pemilih dapat dikuasai dan digiring untuk memilih balon penguasa itu.
Paradigma baliho inilah yang cukup disayangkan. Sebab, ini akan menggiring masyarakat secara tidak sadar untuk puas dengan simulakrum. Sebuah istilah teknis dari wacana post-modernisme, yang digunakan sejak Plato untuk menjelaskan sesuatu yang palsu dari sesuatu yang asli. Dalam arti, para masyarakat disepelekan oleh para balon penguasa, dan mereka cukup disuguhkan dengan senyum ala baliho. Lebih menyedihkan lagi, jika di sebuah kampung atau gang, poster besar sang balon begitu ramah, namun tak pernah beramah-tamah dengan warga setempat. Baliho cukup ditempelkan di sana-sini untuk menggantikan kehadiran para balon penguasa. Foto yang dipilih pun yang paling gagah, ramah dan menarik. Itu dirasa cukup untuk meraup  simpati rakyat. Namun ironisnya, ketika senyum ramah itu harus menggangu keindahan tata kota, menghambat aktivitas warga, atau bahkan mengusik ketenangan di rumah ibadah. Inilah yang disebut sebagai simulasi dalam wacana filsafat Jean Baudrillard, ketika representasi sudah tidak sesuai lagi dengan realitas. Semboyannya, cerdas, ramah, baik dan prosa yang familiar lainnya, namun sangat beda dengan realitasnya. Dalam istilah lokal kita tidak taro ada na taro gau.
Kita tidak menginginkan para balon penguasa yang hanya ma’taro ada namun tidak ma’taro gau. Hanya menebar semboyan iklan namun tidak pernah merealisasikannya. Jika memang seorang balon pemimpin mengklaim dirinya sebagai balon yang ramah, cerdas dan atribut lainnya, setidaknya harus memulai untuk memikirkan sebuah kampanya yang benar-benar ramah. Entah kepada lingkungan ataupun kepada warganya. Kita akan sangat mengapresiasi jika ada seorang balon yang mau berinovasi untuk berkampanye dengan bersih-bersih kota Makassar. Bayangkan saja, jika simpatisan satu balon memiliki massa pendukung sekitar seribu orang dan membersihkan sampah di anjungan Losari, atau di jalan-jalan protokol Makassar, tentu akan membius simpati warga. Atau setidaknya, senyum yang ramah di baliho tidak terlihat sangar ketika menembus pepohonan yang ada di taman-taman kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar